Baru-baru ini ada kabar yang cukup menarik—Amerika Serikat akhirnya melonggarkan aturan, chip H200 dari Nvidia sekarang boleh dijual ke Tiongkok.

Tapi jangan senang dulu, ada syaratnya: setiap kali chip terjual, harus bayar “biaya lewat” ke pemerintah AS sebesar 25%.

Apa maksudnya? Misal satu chip harganya 1 juta dolar AS, Nvidia hanya dapat 750 ribu, sisanya 250 ribu langsung masuk kas negara AS. Ini bukan jual chip lagi, tapi secara tidak langsung seperti pungutan pajak.

Aturannya berubah. Dulu benar-benar diblokir—chip AI kelas atas sama sekali tidak boleh diekspor, alasannya jelas, pengendalian teknologi. Sekarang? Boleh beli, tapi biayanya langsung naik seperempat.

Langkah ini memang kejam. Amerika bisa tetap meraup untung dari pasar Tiongkok, sekaligus dengan pengaturan harga bisa mengontrol volume pembelian, dan juga bisa melacak setiap transaksi. Di permukaan disebut “membuka pasar”, padahal sebenarnya alat kontrol yang jauh lebih presisi.

Untuk perusahaan AI dalam negeri, ini jadi dilema. Bisa dapat chip canggih, itu kabar baik; tapi harus keluar biaya tambahan 25%, siapa yang tahan? Biaya pelatihan model besar dalam jangka panjang pasti melonjak tajam.

Dari sisi lain, kebijakan ini sebenarnya jadi pendorong untuk mempercepat pengembangan chip dalam negeri. Siapa juga yang mau terus jadi korban, sudah dicekik, masih harus bayar “uang perlindungan” lagi.

Singkatnya, Amerika kini beralih dari “tidak jual” menjadi “pasokan terbatas dengan harga tinggi”—mau duitnya, tapi juga mau memperlambat kemajuanmu. Permainan pasar memang seperti itu, di balik tembok teknologi, yang selalu bersembunyi adalah pertarungan kepentingan.