Pimpinan perusahaan manajemen aset terbesar di dunia baru-baru ini memicu perdebatan soal definisi Bitcoin. Bos yang mengelola dana sebesar 13,5 triliun dolar AS itu secara blak-blakan di sebuah konferensi bulan lalu menyebut BTC pada dasarnya adalah "aset ketakutan"—orang menimbun koin bukan karena optimisme masa depan, tapi karena takut dengan situasi saat ini. Saat terjadi gejolak geopolitik atau sistem keuangan tidak stabil, dana mengalir masuk dan mendorong harga naik; begitu keadaan tenang, harga koin pun turun lagi.

Yang menarik, CEO ini pada 2017 pernah mencap Bitcoin sebagai "alat pencucian uang," tapi sekarang ETF Bitcoin milik perusahaannya sudah jadi yang terbesar di dunia, memegang lebih dari 780.000 BTC, dengan nilai sekitar 80 miliar dolar AS menurut harga saat ini. Benar-benar "kena batunya" secara nyata.

Berbicara soal makro, pasar sekarang hampir yakin The Fed akan menurunkan suku bunga di bulan Desember. Platform prediksi menunjukkan probabilitas penurunan 25 basis poin sudah melonjak ke 94%. Kamis malam minggu ini akan diumumkan banyak data penting—angka PHK perusahaan, jumlah klaim tunjangan pengangguran ( ekspektasi 220.000 ), pesanan pabrik, serta indeks tekanan rantai pasok. Kalau data-data ini sesuai ekspektasi, penurunan suku bunga hampir pasti terjadi.

Selain itu, sebuah bank investasi Wall Street baru-baru ini melontarkan prediksi berani: jika Bitcoin bisa meniru performa pasar emas, harga teoritisnya bisa tembus 170.000 dolar AS. Tentu ini hanya skenario hipotetis, tapi secara tidak langsung menandakan institusi kini mulai mengkaji BTC sebagai alternatif alat penyimpan nilai.